Selasa, 26 Juli 2011

Info Post


Argumen paling umum yang sering ditampilkan adalah bahwa Yesus tidak pernah memilih wanita dalam pelayanan imamat. Argumen ini sungguh benar dan tepat. Tetapi argumen ini bukanlah argumen yang kuat dan argumen ini sendiri bukanlah argumen yang lengkap. Pertama-tama perlu diketahui bahwa argumen kaum feminis (mereka yang menghendaki adanya Imam wanita) didasarkan pada gagasan akan martabat dan kesetaraan derajat manusia dalam fungsi dan tugas. Hal ini seringkali jarang dibicarakan ketika isu penahbisan wanita dan kesetaraan dimunculkan.

Bagi kaum feminis, martabat dan kesetaraan tergantung pada bisa atau tidaknya dan boleh atau tidaknya seorang wanita untuk melakukan segala sesuatu yang sama dengan yang pria lakukan. Mereka menyatakan bahwa hanya dengan melakukan segala sesuatu yang sama ini atau setidaknya memiliki kemampuan untuk melakukan segala sesuatu yang sama tersebut, kedua gender ini akan menjadi setara dalam martabat. Menolak bahwa wanita mempunyai fungsi dan tugas yang sama dengan pria sama dengan menolak kesetaraan dan martabat wanita. Hubungannya mungkin terlihat logis tetapi dasar argumen ini sendiri error sekali.

Bertentangan dengan hal ini, pandangan Katolik tidak mengaitkan martabat dan kesetaraan gender dengan fungsi dan tugas yang dapat dilakukan oleh kedua gender. Pribadi manusia tidak ada yang kurang bermartabat atau tidak setara dengan pribadi manusia lainnya berdasarkan apa yang dapat dilakukan atau yang tidak dapat dilakukannya. Melakukan sebuah fungsi spesifik tidak membuat seseorang menjadi lebih layak atau bermartabat daripada seseorang lain yang tidak dapat melakukan fungsi tersebut. Inilah mengapa Gereja menghargai setiap manusia itu setara, lepas dari kriteria penilaian masyarakat terutama kaum feminis. Gereja menilai setiap manusia itu setara termasuk mereka yang terbaring lemah karena sakit parah.

Munculnya budaya euthanasia dan etika “kualitas hidup” juga didasari pada prinsip kaum feminis di atas. Dengan berdasarkan pada prinsip error ini, seseorang dapat memutuskan dan menilai seseorang lainnya yang tidak memenuhi standar “kualitas hidup” dan kemudian menilai orang tersebut untuk di-euthanasia ketimbang merawatnya dengan penuh penghargaan akan kehidupan. Prinsip error di atas mengabaikan intrinsic dignity (martabat instrinsik) manusia yang dianugerahkan Allah. Prinsip-prinsip tersebut sungguh bertentangan dengan kehendak Allah dan martabat manusia itu sendiri.

KGK 369 Pria dan wanita diciptakan, artinya, dikehendaki Allah dalam persamaan yang sempurna di satu pihak sebagai pribadi manusia dan di lain pihak dalam kepriaan dan kewanitaannya. “Kepriaan” dan “kewanitaan” adalah sesuatu yang baik dan dikehendaki Allah: keduanya, pria dan wanita, memiliki martabat yang tidak dapat hilang, yang diberi kepada mereka langsung oleh Allah, Penciptanya (Bdk Kej 2:7.22). Keduanya, pria dan wanita, bermartabat sama “menurut citra Allah”. Dalam kepriaan dan kewanitaannya mereka mencerminkan kebijaksanaan dan kebaikan Pencipta.
KGK 2334 2334. “Ketika menciptakan manusia sebagai pria dan wanita, Allah menganugerahkan kepada pria dan wanita martabat pribadi yang sama dan memberi mereka hak-hak serta tanggung jawab yang khas” (Familiaris Consortio 22, Bdk. Gaudium et Spes 49,2).
Dalam diskusi dengan kaum feminis, seorang Katolik sejati harus berani menegaskan kepada mereka bahwa konsepsi/pemahaman Katolik mengenai kesetaraan dan martabat manusia berbeda dengan kaum feminis secara fundamental. Sungguh tidak tepat jika mengatakan kedua pihak, Katolik dan feminis, memandang kesetaraan dan martabat dengan cara yang sama. Feminis meyakini bahwa wanita tidak memiliki kesetaraan dengan pria dalam Gereja karena mereka ditolak oleh Gereja untuk melakukan suatu fungsi, yaitu fungsi imamat. Sedangkan Katolik meyakini bahwa wanita memiliki kesetaraan karena martabat intrinsik mereka  sebagai seorang pribadi manusia. Wanita melengkapi pria tetapi wanita tidak sama dengan pria. Sekalipun tidak sama, tetapi pria dan wanita setara.

Lalu, mengapa hanya pria yang dapat menjadi imam? Perlu dipahami oleh kaum feminis adalah tindakan liturgis dalam Misa merupakan suatu tindakan pernikahan. Itulah sebabnya mengapa Tuhan Yesus Kristus disebut sebagai mempelai pria dan Gereja sebagai mempelai wanita-Nya. Kitab Suci memberikan gambaran mengenai hal ini:

(Mrk 2:19-20)
2:19 Jawab Yesus kepada mereka: "Dapatkah sahabat-sahabat mempelai laki-laki berpuasa sedang mempelai itu bersama mereka? Selama mempelai itu bersama mereka, mereka tidak dapat berpuasa.
2:20 Tetapi waktunya akan datang mempelai itu diambil dari mereka, dan pada waktu itulah mereka akan berpuasa.

(Why 19:7-8)
19:7 Marilah kita bersukacita dan bersorak-sorai, dan memuliakan Dia! Karena hari pernikahan Anak Domba telah tiba, dan pengantin-Nya telah siap sedia.
19:8 Dan kepadanya dikaruniakan supaya memakai kain lenan halus yang berkilau-kilauan dan yang putih bersih!" (Lenan halus itu adalah perbuatan-perbuatan yang benar dari orang-orang kudus.)

(Why 21:1-2)
21:1. Lalu aku melihat langit yang baru dan bumi yang baru, sebab langit yang pertama dan bumi yang pertama telah berlalu, dan lautpun tidak ada lagi.
21:2 Dan aku melihat kota yang kudus, Yerusalem yang baru (Gereja), turun dari sorga, dari Allah, yang berhias bagaikan pengantin perempuan yang berdandan untuk suaminya.
Yesus Kristus, Pribadi kedua dari Tritunggal Mahakudus, menggambarkan dirinya sebagai seorang mempelai pria bagi Gereja yang dikasihi-Nya, para pengikut-Nya. Karena hal ini, kita kerap memanggil Gereja dengan kata ganti “dia” dalam bentuk perempuan atau “she”, bukan “he”. Penggunaan kata ganti tersebut memang tidak terlihat dalam bahasa Indonesia tetapi apabila kita merujuk ke bahasa Inggris maka akan terlihat dengan jelas.

Imam berdiri dalam pribadi Kristus, persona Christi. Bukanlah imam itu sendiri yang terutama bertindak, tetapi Pribadi Kristus sendiri yang bertindak melalui penampilan gerakan, sikap tubuh, dan pernyataan-pernyataan Imam selama Misa. Dan karena Kristus adalah pria, Imam yang bertindak dalam pribadi Kristus jugalah harus seorang pria dengan dasar tujuan untuk merefleksikan Inkarnasi dalam kepenuhannya.

Ketika roti dan anggur dikonsekrasi oleh imam, sang imam tersebut yang berada dalam pribadi Kristus kemudian menunjukkan Tubuh dan Darah Kristus kepada mempelai-Nya, umat Allah (Gereja). Di sinilah persatuan satu tubuh antara mempelai pria, Yesus Kristus (melalui imam sebagai instrumennya) dengan mempelai wanita, Gereja-Nya, disempurnakan. Persatuan supranatural antara Allah dan umat-Nya ini adalah refleksi mistik dan paling pokok dari pernikahan alami antara seorang pria dan wanita. Oleh karena itu Gereja sebagai mempelai wanita selalu feminin sedangkan Imam dalam Pribadi Kristus selalu maskulin. Misa mencerminkan pesta pernikahan ilahi antara Sang Mempelai Pria dengan Sang Mempelai Wanita.

Dalam masyarakat pada umumnya sekarang ini, imamat Gereja Katolik sedang direduksi dan digoyahkan oleh permainan dan usaha yang dilakukan oleh kaum feminis. Bukanlah kebetulan bahwa dorongan kaum feminis untuk terwujudnya penahbisan wanita dalam Gereja Katolik datang di saat yang sama dengan dorongan kaum homoseksual untuk melegalkan pernikahan sejenis dalam Gereja Katolik. Karena tindakan liturgis adalah cermin dari realitas pernikahan, maka “pernikahan” seorang imam wanita dengan Gereja sebagai mempelai wanita tentunya akan menunjukkan penerimaan kultural homoseksualitas secara umum dan “pernikahan” sejenis secara khusus. Ya ya ya, sekali lagi terbukti iblis sedang berusaha merongrong Gereja lagi.

Pax et Bonum 

Diadaptasi dari tulisan John Pacheco di situs catholic-legate.com